banner 468x60

Terorisme di Gorontalo dan Intelektual yang Serba Tahu

Terorisme Gorontalo
banner 468x60

Penulis: Tarmizi “Arief” Abbas
(Mahasiswa Prodi Centre for Religious and Cross-cultural Studies, UGM, Jogjakarta)

READ.ID -Tulisan Makmun Rasyid, pendiri The Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR), berjudul Pohuwato, Kesalahan Pejabat dan Jaringan Teroris yang terbit di website sangkhalifah.co pada 28 November 2020, sebagai respon atas peristiwa penangkapan Densus 88 Anti-Teror terhadap terduga 7 teroris di dua kecamatan Randangan dan Buntulia, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, sebenarnya tidak memberikan informasi yang baru, selain merepetisi fakta yang sudah dipaparkan media ditambah sedikit catatan kenangan. Di dalam tulisannya itu juga ada banyak spekulasi dan kurangnya data yang relevan untuk mengukuhkan argumentasinya terhadap jaringan teroris yang terbentuk di Gorontalo. Sebaliknya, Djemi Radji, yang menanggapi langsung tulisan Makmun namun dalam laman yang berbeda, justru memberikan ulasan yang lebih jelas di dalam tulisan yang berjudul Intelektual Salah yang Bicara Kesalahan.

Di dalam tulisan ini, selain hendak memperkuat argumentasi Djemi, saya ingin menyatakan satu hal: Makmun, yang lihai secara nasional membincang isu-isu terorisme dan HTI, sesekali lihat dan ikut campur tanganlah dalam penanganan terorisme di Gorontalo. Asbab, ini bukan sekadar tanggung jawab Anda secara intelektual dan kelembagaan, melainkan juga karena secara etis, Anda memiliki keterkaitan dengan tempat ini. Selain itu, alih-alih menyalahkan Idris Rahim, Wakil Gubernur Gorontalo, tulisan Makmun harusnya juga menyitir bagaimana kinerja Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo sebagai perpanjangan tangan dari Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Yang mengherankan, Ani Hasan, ketua FKPT, mendaku bahwa penangkapan terduga teroris itu sama sekali diketahuinya, bahkan ia terkejut soal penangkapan itu.

Pertanyaannya, kenapa FKPT justru kecolongan dalam hal ini dan kenapa Makmun justru menyalahkan ungkapan Idris Rahim? Bukankah baru beberapa bulan lalu FKPT telah berkoordinasi dengan wakil gubernur tersebut terkait penanganan terorisme di Gorontalo? Apakah harus Idris Rahim yang turun langsung dalam penanganan itu? Ataukah memang, FKPT, sebagai perpanjangan tangan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), selama ini tidak benar-benar konsen menyitir isu ini? Di mana hasil penelitian FKPT terhadap fenomena radikalisme keagamaan itu?

Tiga Catatan Penting dan Satu Tambahan Kecil

Ada beberapa catatan yang ingin saya ungkapkan terkait spekulasi Makmun di dalam tulisannya. Pertama, Makmun menyebut ada satu data pendukung terkait fenomena teroris di Gorontalo, yakni “sikap overdosis” yang lahir di kalangan para pejabat ternyata berpengaruh melanggengkan aktivisme teroris. Tentu, saya setuju dengan pernyataan ini. Tapi Pertanyaannya, pejabat siapa yang dimaksud Makmun? Apakah itu wakil gubernur? Jika benar, ini kesimpulan yang terlalu cepat. Kerja-kerja birokrat itu dilakukan secara “top-down”; bukan one man-all works: wakil gubernur memberi perintah, FKPT, sebagai perpanjangan pemerintah dalam hal ini mengurusi isu-isu terkaitlah yang mengeksekusinya di lapangan. Sederhananya begitu.

Kedua, soal lereng dan perbukitan sebagai sebuah tempat strategis bersemayamnya para teroris. Saya tidak menyebut dua kontur wilayah ini sebagai penyangkalan. Namun dalam kasus tertangkapnya 7 orang teroris baru-baru ini, kesimpulan tersebut terlalu cepat. Dari mana asumsi itu datang? Asbab, penangkapan teroris baru-baru ini oleh Densus 88 Anti-Teror justru di desa. Itu artinya, para terduga teroris itu mengembangkan jejaring terorismenya di tengah-tengah komunitas masyarakat. Lereng dan pegunungan barangkali kena jika itu menjadi tempat kejar-kejaran antara aparat dan para teroris. Namun untuk menjadi benteng, kemungkinannya kecil. Sebab, kasus-kasus yang terjadi sepanjang lima tahun terakhir menyebutkan bahwa penangkapan teror selalu terjadi di desa, sebagaimana diulas oleh Djemi di dalam tulisannya. Sederhananya begitu.

Ketiga, dalam ulasan itu, Makmun menyebut aktor-aktor teror di tiga tahun belakangan (2018-2020) namun tanpa penjelasan apa pun. Padahal, hal ini penting dalam memetakkan jejaring teror yang dimaksudnya, wabilkhusus muasal perkembangan terorisme di Gorontalo. Sebaliknya, penjelasan ini, lagi-lagi, justru diuraikan oleh Djemi. Bahkan, Djemi melangkah lebih jauh dengan menyebut bahwa seluruh tersangka teror di Gorontalo, merupakan transmigran dan bukan masyarakat lokal. Itu artinya, belum ada satupun orang Gorontalo yang terpapar terorisme. Satu hal yang hendak saya sampaikan adalah, pentingnya pembacaan mendalam pada satu kasus itu penting, agar kita tidak jatuh dalam bias yang berlipat. Sederhananya begitu.

Keempat, dan ini barangkali persoalan logika tulisan saja. Di dalam sub Eksklusivisme dan Intoleransi: Watak Dasar Teroris”, Makmun tidak memberikan penjelasan apa-apa selain merepetisi pemberitaan media. Harusnya, karena Makmun menyebut watak dasar dari terorisme adalah eksklusivisme dan intoleransi, ia mesti menjelaskan bagaimana eksklusivisme dan intoleransi itu terjadi di dalam konstruk sosial masyarakat Gorontalo. Sayangnya, ia tidak melakukannya. Sederhananya begitu.

Ke mana FKPT?

Satu hal yang benar-benar menarik perhatian saya adalah terkejutnya ketua FKPT, Ani Hasan, terhadap penangkapan terduga teroris saban hari. Ini setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, lemahnya koordinasi FKPT terhadap isu-isu terorisme di Gorontalo; sedang kedua, lemahnya koordinasi merembes lemahnya intervensi terhadap isu tersebut sejak dini. Padahal sejak bulan Juli, komitmen FKPT yang disampaikan langsung kepada wakil gubernur itu benar-benar jelas: mengupayakan pencegahan terhadap aksi-aksi teror dan radikalisme di Bumi Serambi Madinah.

Sejauh ini, saya juga belum melihat sejauh mana laporan FKPT terhadap perkembangan isu-isu teror dan radikalisme di Gorontalo, kecuali beberapa seminar yang telah diselenggarakan, misalnya Moderasi Dari Sekolah dan tiga kali diskusi penanggulangan terorisme melalui pengembangan literasi dan informasi. Ini dua terobosan yang baik meskipun tidak menyentuh jantung masalah. Bagaimana bisa intervensi terorisme dilakukan di ruangan ber-AC, di tengah-tengah masyarakat urban, sedangkan persoalan ini justru lebih banyak terjadi di desa yang mengharuskan FKPT untuk turun langsung dan terlibat dengan masyarakat? Lain dari itu, sudah sejauh mana upaya kontrol FKPT terhadap para guru, pemuda, milenial, bahkan tokoh agama yang telah mengikuti berbagai macam pembinaan?

Di sisi lain, riset terkait genealogi, pemetaan jaringan, dan pengaruh aktivisme teror di Gorontalo juga perlu dilakukan (jika ada, sudilah memberikan mempublikasikannya secara luas dan terbuka). Asbab, satu-satunya laporan yang saya baca hanya ringkasan hasil riset tahun 2017 tentang tingkat penyebaran radikalisme di Indonesia di media. Di dalam riset itu yang diinisasi oleh BNPT itu, Gorontalo ditetapkan di posisi kedua dari lima daerah dengan potensi radikalisme sebesar 58,48%. Namun alih-alih mencerahkan, pemberitaan ini justru menyiratkan pertanyaan yang mendalam. Saya ringkas ini dalam dua kategori.

Pertama, secara filosofis, apa definisi radikal yang digunakan dalam riset itu? Apakah seseorang yang, misalnya, menyukai beberapa tokoh konservatif dalam Islam langsung dicap radikal? Bagaimana definisi ini mempengaruhi cara pandang para peneliti melihat varian gerakan Islam? Definisi ini perlu dilakukan untuk menghindari jebakan istilah. Sebab, radikalisme itu, pada dasarnya, merupakan aliran pemikiran yang hendak mengkaji sesuatu secara mendalam sampai ke akar-akarnya (radix). Sedang kedua, ini lebih-lebih persoalan teknis, misalnya, apa instrumen dan pendekatan yang digunakan? Berapa banyak sampel yang diambil? Serta siapa dan di mana saja penelitian tersebut dilakukan.

Barangkali bukan radikal, sebenarnya, melainkan cara membaca kitab suci yang literal dan atomistik, serta pengaruh doktrin ideologislah yang menjadi faktor penyebab tindakan teror. Cara pandang ini juga melahirkan inklusivisme dan intoleransi di kalangan umat beragama. Tetapi juga, ini bukan satu-satunya faktor. Terorisme, sebaliknya, merupakan persoalan yang kompleks dan tidak lepas dari pengaruh relasi-kuasa dalam politik yang menyebabkan ketidakadilan dalam ekonomi dan pada akhirnya melahirkan brutalisme atas nama agama. Artinya, perlu pemahaman yang cukup luas dan mendalam untuk mengkaji seluk-beluk terjadinya tindakan teror.

Desa Damai

Karena Makmun di dalam sempat menyentil program Desa Damai yang diinisasi oleh Kemendes, PDTT, BNPT dan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), serta Universitas Negeri Gorontalo, di Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, saya rasa perlu kiranya, sebagai salah satu orang yang terlibat dalam proyek ini, memberikan penjelasan. Desa Damai ini adalah proyek jangka panjang yang menjadikan Banuroja sebagai role-model. Pemilihan Banuroja ini tentu saja, tidak turun dari langit, melainkan karena sejak awal, kami melihat potensi yang dimiliki oleh Banuroja dalam mengelola keberagaman selama lebih dari 30 tahun lamanya tanpa catatan satupun catatan konflik. Di Banuroja, masyarakat yang memiliki latar belakang agama, identitas, dan kebudayaan yang berbeda, dapat mewujudkan kehidupan yang rukun.

Sekarang, apa yang menyebabkan kondisi ini terjadi? Kami merangkum beberapa tesis tentang ini.

Kekuatan Banuroja itu terdapat pada lapis-lapis benteng kultural yang kuat. Pada lapisan inti, masyarakat Banuroja memiliki budaya gotong-royong antar-etnis dan agama yang menjadi fondasi dasar dalam ketahanan kultural dan, pada akhirnya melahirkan keadilan distributif. Lapisan kedua adalah ketokohan. Di Banuroja, aktor-aktor religius dan adat memiliki pengaruh penting dalam mereduksi ketegangan yang memungkinkan konflik terjadi. Mereka tidak sekadar didengar, melainkan juga ditiru sebab tidak hanya toleran, namun juga memberikan pemahaman terhadap ajaran agama dan budaya yang cair, alih-alih statis. Sedang pada lapisan permukaan, ada pemerintah desa yang secara kelembagaan, berusaha menjaga kerukunan tersebut dengan konsensus bahwa kepemimpinan desa harus dilakukan secara siklis dari setiap etnis dan agama setiap periode.

Pada akhirnya, dengan menjelaskan hal ini, saya tidak sedang mengajari Makmun soal terorisme hingga perdamaian. Sebaliknya, saya ingin memberi sebuah penjelasan sederhana bahwa Makmun sebagai seorang intelektual cum aktivis penggebuk HTI itu, perlu melihat sesuatu itu lebih dekat dan sepenuh-penuhnya, alih-alih melihatnya secara sepihak, dari menara gading yang tinggi nun jauh.***

 

 

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 468x60