banner 468x60

Praktisi Hukum: Tidak Cukup Alasan Polda Metro Jaya Tahan HRS

Polda Metro Jaya

READ.ID – Praktisi hukum yang juga politisi senior Arbab Pabroeka menilai, tidak cukup alasan Polda Metro Jaya untuk menahan Imam Besar Forum Pembela Islam (FBI) Habib Rizieg Shihab (HRS).

Hal tersebut dikatakan Arbab menjawab Read.id di Jakarta, Minggu (13/12) menanggapi ditahannya HRS oleh Polda Metro Jakarta Raya di sampai 14 hari ke depan terhitung mulai Minggu (13/12) di tahananan Narkoba Polda Metro Jakarta.

Ya, seperti diberitakan banyak media termasuk Read.id, Polda Metro Jaya melakukan penahanan terhadap HRS setelah dilakukan pemeriksaan lebih dari 10 jam sejak Sabtu (12/12). Keputusan Polda Metro Jaya menahan HRS banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak termasuk para wakil rakyat di parlemen, praktisi hukum dan akademisi.

Arbab mengatakan, secara normatif seseorang ditahan itu harus memenuhi alasan subyektif dan objektif sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kalau subjektif itu terkait dengan soal harus ada dugaan dari penyidik bahwa yang bersangkutan kalau tidak ditahan yang bersangkutan bakal melakukan perbuatan pidana lagi.

“Takut yang bersangkutan bakal mengulangi tindaka pidana lagi, melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Saya kira dari alasan itu, sepertinya tidak cukup alasan yang bersangkutan itu ditahan,” jelas anggota Komisi hukum dan keamanan DPR RI 2004-2009 ini.

Sebagaimana diketahui, lanjut Arbab, toh tanpa pemanggilan pun HRS sebagai warga negara yang baik secara sadar sudah datang ke Polda Metro Jaya guna memberikan keterangan. Konon waktu itu kan HRS sebagai saksi. “Kenapa tiba-tiba jadi tersangka,” jelas Arbab dengan nada bertanya.

Alasan obyektifnya, jelas praktisi ini, memang itu terkait dengan pidana. “Tetapi itu kan alasan yang mereka kait-kaitkan dengan Covid-19. Jadi, ada beberapa hal yang juga harus menjadi pikiran dari teman-teman polisi.”

Dikatakan Atbab, banyak orang membanding-bandingkan apa yang terjadi di tempat kediaman Imam Besar tersebut dengan perhelatan di daerah yang dilakukan para calon kepala daerah menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember lalu termasuk menantu dan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Medan dan Solo.

Dalam perhelatan tersebut, ungkap Arbab, begitu banyak orang berkumpul tanpa mengindahkan protokol kesehatan. “Namun, dalam kenyataannya, siapa yang telah dipanggil oleh penyidik terkait dengan itu?”

Ini, jelas Arbab, sungguh memukul rasa keadilan dan masyarakat melihat itu secara terang benderang. Soalnya, sesungguhnya keadilan itu dalam definisi yang paling elementer adalah memperlakukan secara sama hal-hal yang sama.

Jadi, menurut saya, kata Arbab, Polda Metro Jaya harus mengevaluasi kembali, apakah memang telah memperlakukan hal-hal yang sama secara sama untuk hal-hal itu. “Saya kira, di sini kita melihat ada ketidakadilan yang coba mereka tunjukkan. Bahkan konon HRS telah membayar sanksi Rp 50 juta terkait dengan ancaman pelanggaran terhadap protokol Covid-19.”

Polda Metro Jaya harus paham dimana mereka tidak boleh meletakkan hukuman terhadap seseorang yang telah dihukum karena kesalahan yang sama. Artinya, seseorang tidak boleh dihukum dua kali untuk suatu perbuatan yang sama.

Kalaupun apa yang dilakukan HRS dianggap Polda Metro Jaya sebagai pelanggaran, HRS sudah membayar denda atas pelanggaran itu. “Lalu, kenapa sekarang yang bersangkutan ditahan atas pelanggaran yang sama?”

Ini membuat kita sebagai rakyat menjadi miris karena baru saja polisi mengakhiri hak hidup enam orang pengawal HRS di Tol Cikampek Arah Kerawang Timur. Dan, peristiwa itu masih menjadi perbincangan hangat di tangan masyarakat karena penghilangan nyawa orang secara prosedur di luar hukum.

Ya, itu masih hangat dan masih pula menjadi perbincangan orang. Jangan sampai masyarakat berpikir lain tentang apa yang dilakukan Polda Metro Jaya karena terkait dengan aktivitas HRS sebagai seorang ulama, sebagai seorang tokoh.

Arbab meminta agar pihak kepolisian tidak mencoba-coba melakukan ekperimen terkait dengan HRS ini. Bilamana umat Islam yang mayoritas ini bersatu menghadapi persoalan ini, itu tidak bakal mampu dihadapi aparat kepolisian.

“Saya memang tidak ingin umat Islam mengepung Polda Metro Jaya. Saya tidak berharap ke situ. Namun, saya ingatkan aparat kepolisian tidak memancing-mancing amarah. Pihak kepolisian harus mempertimbangkan sebaik-baiknya,” kata Arbab.

Sebagai mantan anggota Komisi III DPR RI, saya berharap teman-teman polisi coba mempertimbangkan kembali secara jernih, semua hal yang terkait dengan aspek hukum dan aspek kemasyarakatan, khususnya menyangkut masalah kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Arbab juga berharap Presiden Jokowi dan Menkopolhukam Mahfud MD berkomentar, Khusus Mahfud, yang bersangkutan adalah bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang tahu persis bagaimana konstitusi diberlakukan secara benar dan baik kepada seluruh warga negara.

Sebagai ahli hukum, beliau paham benar tentang bagaimana keadilan dalam memperlakukan secara sama untuk hal-hal yang sama di dalam memperlakukan terhadap warga negara. Apalagi, saat ini dia adalah hari ini koordinator empat kementerian yakni Polihukam dimana disitu menyangkut hukum dan keamanan.

Masyarakat sangat membutuhkan bagaimana pandangan beliau terkait dengan pematian enam orang di luar proses berhukum itu dan yang kedua menyangkut masalah penahanan terhadap HRS. Sikap presiden juga butuhkan karena walaupun beliau berkali-kali mengatakan, tidak akan mencampuri proses penegakan hukum, tapi dalam kedudukan sebagai kepala negara sepertinya sudah saatnya untuk dia berpendapat.

“Satu dan lain hal, Jokowi juga harus mempertimbangkan aspek psikologi dari umat Islam Indonesia. Terkait dengan bagaimana penghormatan dan penghargaan seluruh umat Islam terhadap Baginda Rasulullah Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam sebagai bagian dari keimanan beserta seluruh keluarga beliau dan sahabat-sahabat beliau, termasuk keturunan beliau. Anak cucu beliau,” demikian Arbab Pabroeka.(akhir tanjung)

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60