banner 468x60

Gorontalo Tidak Kecolongan Dari Aksi Kelompok Teroris

Teroris, Makmun Rasyid
banner 468x60

Gorontalo – Dalam sejarah kegorontaloan, Densus 88 dan pihak kepolisian telah bekerja secara baik dan sesuai tupoksinya. Pergantian Kapolda dan Kasatgaswil tidak mengubah prestasi mereka. Dan Alhamdulillah, kini Gorontalo di bawah kepemimpinan Kasatgaswil Anti Teror Densus 88 yang baru—yang sebelumnya bertugas lintas Sulawesi—memiliki keahlian dalam mematahkan gerak laju seorang teroris dan terduga teroris (sebuah istilah yang tepat dibandingkan “terduga terorisme” seperti yang digunakan Djemi Radji; ini bukti bahwa dia ‘tidak kenal’ dunia terorisme).

Mari kita berangkat dari sebuah pertanyaan, “mengapa Gorontalo menjadi tempat persinggahan?” seperti yang diinginkan Djemi. Pertanyaan ini bukan sekali dua kali saya nyatakan sebelum Djemi mempertanyakan itu (jika ingin dokumentasinya, silahkan lihat video saya dalam acara AKUR yang diselenggarakan UNG bekerjasama dengan Kementerian Desa, 1 Oktober 2020). Jika di Jawa produksi dan tempat lahirnya bibit-bibit radikalisme-terorisme terdapat di Jawa Barat, Sumatera terdapat di Sumatera Barat, maka di Sulawesi terdapat di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan dikategorikan sempurna dalam segala hal, baik logistik, informan yang handal, strategi berlapis yang canggih disebabkan dukungan intelektual yang cukup. Tetapi biasnya kesana-kemari, salah satu yang paling menonjol adalah Sulawesi Tengah, dan Gorontalo mendapatkan biasnya.

Bias yang dimaksud adalah pelebayaran sayap. Disini kelompok teroris memecah konsentrasi dan menyebar agar tidak tertangkap dalam satu waktu. Dan ini terbukti jaringan MIT tersebar di pelbagai wilayah sebagaimana data yang diungkapkan Densus 88 dan BNPT. Semasa Santoso, Ali Kolara dan Basri (tangan kanan Santoso) dididik sedemikian rupa. Sebab itu, kegalakan Ali Kolara merupakan replikasi dari Santoso (Abu Wardah) dan Bahrumsyah (yang membentuk Mujahidin Indonesia Barat).

Gerakan MIT ini tidak terlepas dari proyek tahun 2009 yang dilakukan Abu Bakar Ba’asyir melalui perantara Abu Tholut yang datang ke Poso untuk bertemu Yasin dan Santoso. Santoso ini memimpin MIT pada tahun 2012, dan melakukan bai’at kepada Abu Bakar Al-Baghdadi (ISIS) tahun 2014. Santoso hanya memegang kendali selama empat tahun lebih dan tewas setelah adanya operasi Tinombala. Dan sejak itu aktivitas di bawah kendali Ali Kolara dan Basri (ditangkap pada 2016 bersama istrinya). Dan kedua orang ini telah menginstruksikan untuk membuat “sifat yang menakutkan” di Gorontalo.

Jadi jelas tujuan Gorontalo menjadi tempat persinggahan. Dan tulisan Djemi Radji yang menulis “Itu petanda bahwa Gorontalo bukan satu-satunya tempat persembunyian kelompok teroris” sebenarnya menguatkan artikel saya. Karena Gorontalo bukan tujuan dan target seperti yang mereka lakukan baru-baru di Sigi Sulawesi Tengah. Seorang warga menolak memberikan amunisi dan Ali Kolara cs membantainya. Tapi keberadaannya untuk menakut-nakuti semata. Tapi bukan berarti, tidak ada potensi gerakan. Buktinya, 7 terduga teroris yang ditangkap di Pohuwato dan langsung di bawah komando Kasatgaswil telah dipatahkan gerakannya. Densus 88 bergerak lebih cepat sebelum terjadinya kebrutalan di Serambi Madinah.

Maka asumsi Arief Abbas bahwa “para terduga teroris itu mengembangkan jejaring terorismenya di tengah-tengah komunitas masyarakat”, dalam perspektif teroris tidak sepenuhnya benar. Sebab jaringan MIT ini berbeda seperti gerakan transnasional yang ada, seperti HTI, Ahmadiyah, Syiah dan Wahabi (soft-nya bernama Wahdah Islamiyah), yang masuk ke desa-desa dan terlibat dalam perubahan di sebuah wilayah. Kini MIT ini dalam perekrutan sudah lebih canggih, alias menggunakan jaringan media sosial dan ketika asumsi Arief Abbas dilakukan oleh kelompok MIT, sama artinya orang-orang MIT itu ‘bunuh diri’. Apalagi terkait 7 terduga teroris di Pohuwato, dimana ketujuhnya di tangkap di desa bukan dalam rangka mengembangkan jaringannya. Disini Arief memang tidak memiliki akses A1 untuk menyuplai argumentasinya.

Di samping itu, saya berbicara bahwa tempat persembunyian itu bukan di rumah warga tapi di gunung dan turunnya mereka ke desa-desa dalam misi mencari amunisi. Disini gunung maupun hutan jelas menjadi tempat istirahat utama mereka. Dalam setiap operasi, pihak kepolisian selalu mendapatkan ragam bukti seperti kondom, pil kb dan lain sebagainya di kemah-kemah mereka. Berbeda jika ditangkap di rumah, itu terduga yang berfungsi ‘pelengkap’, misalnya sebagai perantara donasi, perekam informasi di sekeliling dan lain sebagainya.

Dan ketika ada teroris pasti ada pihak warga yang terlibat di dalamnya. Mengapa? Jaringan MIT ini akan turun gunung dalam mencari kebutuhan kelompoknya, utamanya makanan dan kebutuhan ‘nafsu’-nya. Dan warga yang tidak berkompromi, tidak akan segan-segan mereka “gerek” lehernya. Disini keahlian Ali Kolara dalam mendoktrin orang-orangnya saat berkomunikasi dengan warga yang dekat dengan tempat ‘nginap’-nya.

Dalam aspek tindakan yang bersifat eksekutor, FKPT sama sekali tidak punya tupoksi seperti Densus 88. Disini Djemi Radji tidak bisa membedakan tupoksi masing-masing lembaga. FKPT sebagai kepanjangan BNPT di daerah bertugas sebagai penguat pada aspek agama, pendidikan dan dakwah; pengkajian dan penelitian; ekonomi, sosial, budaya dan hukum; pemberdayaan pemuda dan perempuan; pemberdayaan media massa, humas dan sosialisasi. FPKT tidak diberikan kewenangan dalam urusan “tindakan penangkapan”.

Tulisan Arief Abbas juga yang mengatakan FKPT kecolongan menjadi tidak tepat. Mengapa? Ini tupoksi Densus 88, sedangkan FKPT bekerja dalam kerangka deradikalisasi dan penguatan (psikologis maupun non-psikologis) kepada eks napiter dan pencegahan masyarakat agar tidak ikut menjadi bagian dari kelompok teroris. Artinya, FKPT di bawah kepemimpinan Prof. Ani Hasan yang terkejut mendapat berita penangkapan menjadi wajar (jika berita terkejut itu benar adanya). Mengapa? FKPT tidak diberikan sistem intelijen full sebagaimana yang dimiliki Densus 88 dan pihak kepolisian (khususnya Polda Gorontalo). Baik Densus 88 maupun FKPT (BNPT) telah bekerja sesuai mekanisme yang berlaku dan sesuai Perpres No. 46 Tahun 2010 dan direvisi melalui Perpres No 12 Tahun 2012 tentang BNPT dan Peraturan Kepalada BNPT No 2 Tahun 2012 tentang Pembentukan FKPT di daerah.

Istilah kecolongan dalam dunia teror hanya melekat pada kejadian-kejadian seperti kasus bom Boston Tamerlan Tsarnaev yang dilakukan oleh Tamerlan dan Dzhokar berada di Watertown; kasus tragedi runtuhnya menara kembar WTC 9/11; kasus penembakan dari Gedung Utama di University of Texas di Austin; kasus ledakan bom di Gedung Federal Alfred P Murrah, Oklahoma City dan deretan kasus yang ada. Sedangkan di Gorontalo itu namanya bukan kecolongan, sebab 7 terduga teroris itu belum melakukan tindakan biadabnya.

Dan terkait tanggapan keempat oleh Arief Abbas berupa “Eksklusivisme dan Intoleransi: Watak Dasar Teroris” ini soal keterburu-buruan saja dalam membaca artikel saya. Dimana itu bukan sub-judul, melainkan itu link berita ketika saya mengisi di Universitas Pamulang Viktor Provinsi Banten. Hehe darah anak muda!

Dan kalau istilah “kecolongan” masih tetap digunakan, seharusnya yang salah tidak sekedar FKPT, tapi kelompok Arief Abbas yang selama ini abai mengurusi urusan “tangguh ideologi” di seluruh titik di Gorontalo. Bukankah begitu? Sebab, mulai urusan data dan upaya deradikalisasi lahir dari rahim FKPT dan pihak kepolisian lainnya, sedangkan kelompok Arief Abbas sama sekali belum pernah action dalam hal ini.

Penulis : Makmun Rasyid

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 468x60