banner 468x60

Curva Covid 19 Belum Turun, New Normal Dinilai Belum Saatnya

READ.ID– Rencana pemberlakuan New Normal yang disosialisasikan Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditanggapi beragam berbagai pihak termasuk politisi di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta.

Politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Komisi XI DPR RI yang juga pakar ekonomi syariah, Dr Hj Anis Byarwati memberikan pandangan dia terkait pemberlakukan new normal dari sisi ekonomi yang sedang menurun.

Menurut legislator dapil Jakarta Timur ini, new normal belum semestinya diberlakukan pemerintah saat ini karena jumlah pertambahan wabah virus Corona (Covid-19) secara nasional masih tinggi. Rata-rata 400 kasus positif virus Corona bertambah setiap harinya. Bahkan sampai 21 Mei lalu, terjadi peningkatan kasus.

Data Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 yang dibentuk Jokowi menyebutkan, hari itu masih terjadi peningatan positif virus Corona 973 orang. “Saat ini saja, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) belum bisa dikatakan efektif, masih banyak masyarakat beraktifitas keluar rumah tanpa masker atau tanpa jaga jarak,” kata Anis di Jakarta, Rabu (27/5).

Anis juga menyoroti ketidaksiapan Pemerintahan Jokowi menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai. Dengan kurva masih naik dan aktivitas masyarakat yang akan kembali dibuka, kemungkinan penambahan pasien positif dalam jumlah besar akan sangat nyata.

“Jika Pemerintah memaksakan diri menerapkan new normal sesuai dengan kemauan Jokowi, menurut saya malah justru kondisinya bakal semakin mengkhawatirkan. Sebab, peningkatan aktivitas masyarakat akibat kebijakan itu bisa berpotensi menambah jumlah kasus virus Corona di dalam negeri,” imbuh dia.

Selain itu, ungkap Anis, saat new normal diberlakukan secara efektif, daya angkat industri terhadap perekonomian tidak akan sama dan tidak akan sekuat ketika sebelum pandemi Covid-19 terjadi.
Hal ini karena new normal diberlakukan dengan protokol kesehatan yang ketat, di mana physical distancing tetap dilakukan. Dan, para pekerja yang berusia di atas 45 tahun tidak bisa masuk kerja. “Faktor ini akan mempengaruhi struktur pekerja di perusahaan-perusahaan,” jelas Anis.

Ditegaskan, sebelum Jokowi menerapkan new mormal, Pemerintah harus benar-benar melakukan kajian yang matang soal skenario dan dampak dari new normal kepada kesehatan masyarakat dan perekonomian.

Karena itu, Anis mengingatkan, jangan sampai tujuan new normal malah seperti jauh panggang dari api. “Jangan sampai pemberlakuan kebijakan new normal membuat jumlah kasus justru makin bertambah dan membuat pemulihan ekonomi menjadi makin lama untuk Indonesia,” tutur dia.

Sebelumnya, anggota Komisi V dari Fraksi Partai Demokrat DPR RI, Irwan Facho mengatakan, rencana New Normal yang digulirkan Presiden Jokowi beserta jajarannya pasca pernyataan berdamai dengan Covid-19 merupakan bentuk kekalahan rezim kepada virus Corona (Covid-19).

New Normal, ungkap legislator partai berlambang Bintang Mercy dari Dapil Kalimantan Timur tersebut kepada awak media, Rabu (27/5) merupakan bentuk dari kekalahan ‘perang’ pemerintah pimpinan Jokowi melawan wabah Covid-19.

Pasukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di DPR RI tersebut mengatakan, Jokowi harus memahami filosofi new normal sebelum memberlakukannya. “Sebelum adanya pandemi Covid-19, itu yang dikatakan situasi normal. Termasuk di Indonesia itu situasi normalnya saat sebelum ditemukannya kasus positif Corona.”

Jika pemerintah mau menetapkan situasi new normal, ungkap legislator yang membidangi transportasi, infrastruktur dan perumahan rakyat ini, harusnya rezim ini tegas dan fokus menurunkan angka penularan Covid-19 di Indonesia yang terus bertambah secara eksponensial setiap harinya, sampai kemudian melewati puncak dan kurvanya terus turun melandai mendekati situasi normal sebelum pandemi.

“Itu b\aru tepat dikatakan ‘New Normal’. Jika situasinya masih seperti sekarang, ‘New Normal’ adalah bendera putih pemerintahan Jokowi melawan virus Corona,” tegas legislator kelahiran Kalimantan Timur yang dibesarkan di Sulawesi Selatan ini.

Bentuk bendera putih pemerintah dengan New Normal itu menurut Irwan, ditandai dengan narasi pembantu Jokowi, yang membandingkan banyaknya korban penyakit lain atau musibah kecelakaan ketimbang korban Covid-19.

“Itu pembodohan masyarakat secara terang-terangan. Seperti narasi Prof Mahfud yang membandingkan korban Covid-19 dengan korban kecelakaan. Sebanyak-banyak korban kecelakaan belum pernah membuat Presiden mengeluarkan Perppu akibat jumlah korban kecelakaan yang banyak,” tutur Irwan.

Selain itu, kebijakan pemerintah berupa relaksasi PSBB dan New Normal itu semua dilakukan di saat tidak tepat.

Berbeda dengan negara lain yang kecenderungan semua kurva covid-19 turun melandai.

“Sebaiknya pemerintah bersabar dan terus memperketat PSBB sampai kurva menurun dan kemudian memberlakukan New Normal. Dan atas semua kekeliruan ini sebaiknya pemerintah legowo meminta maaf pada seluruh rakyat Indonesia,” demikian Wasekjen DPP Partai Demokrat 2020-2025 tersebut.

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60